Ekonomi
Indonesia tumbuh 5,01% pada 2014 dan merupakan pertumbuhan ekonomi paling
lambat dalam lima tahun. Angka itu turun jika dibandingkan dengan 5,78% pada
2013 dan merupakan tingkat terlemah sejak 2009 yang merupakan puncak krisis
finansial global. Perekonomian Indonesia melambat dalam beberapa tahun terakhir
seiring dengan menurunnya harga - harga ekspor komoditif utama, akibat
melemahnya tuntutan dari China dan pasar - pasar utama lainnya. Ekspor tidak
banyak berubah pada 2014, sedangkan ketidakpastian politik juga membuat
investasi asing menahan diri karena banyak perusahaan yang ingin melihat hasil
pemilihan presiden. (Badan Pusat Statistik, 2015)
Akibat
melemahnya pertumbuhan investasi dan ekspor, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada
tahun 2015 diperkirakan mencapai 5,2 persen, sedikit di bawah proyeksi Bank
Dunia yang dirilis Juli 2014 lalu, yaitu sebesar 5,6 persen.
Pertumbuhan
ekonomi tahun 2014 diperkirakan mencapai 5,1 persen, lebih rendah dari 5,2
persen yang sebelumnya diperkirakan. Demikian terungkap pada laporan Indonesia
Economic Quarterly, edisi Desember 2014, yang dikeluarkan Bank Dunia,
berjudul Membawa Perubahan.
Pertumbuhan
ekonomi dunia yang melambat mengakibatkan turunnya harga-harga sejumlah
komoditas Indonesia, selain juga memperkecil hadirnya peluang-peluang baru.
Namun estimasi pertumbuhan yang mengecil ini dapat berbalik arah, bila
investasi melampaui harapan pada tahun 2015.
"Pembelanjaan
pasar domestik di Indonesia yang bertahan tinggi terus menopang pertumbuhan.
Jika Indonesia memperkuat fondasi ekonomi yang lain dan memperkuat iklim
investasi, Indonesia dapat mendorong kembali laju pertumbuhan yang lebih tinggi
dan lebih pesat,” kata Kepala Perwakilan Bank Dunia untuk Indonesia Rodrigo
Chaves di Jakarta.
Namun
banyak tantangan lain yang harus dihadapi. Misalnya, sampai akhir bulan
Oktober, penyerapan belanja modal Pemerintah (capital expenditure) hanya
38 persen dari persiapan pendanaan untuk tahun 2014 -- jauh di bawah angka pada
tahun 2012 dan 2013 untuk periode yang sama.
Defisit
neraca berjalan berkurang, namun sedikit, yakni di angka USD 6,8 milyar atau
3,1 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) pada triwulan ketiga tahun ini.
Penurunan secara bertahap diperkirakan akan terus berlangsung, dan defisit
neraca berjalan diperkirakan mencapai 2,8 persen pada tahun 2015
Penyesuaian
harga Bahan Bakar Minyak (BBM) memberi dampak kepada inflasi, namun dampak
tersebut bersifat sementara. Inflasi diperkirakan akan mencapai 7,5 persen pada
tahun 2015, dan menurun pesat sebelum akhir tahun 2015, bila tidak ada gejolak
lain.
Penghematan
fiskal berjumlah lebih dari Rp100 Triliun dari penyesuaian harga BBM kini
memberikan ruang kepada Pemerintah untuk menambah belanja publik bagi
sektor-sektor yang prioritas, seperti pelayanan kesehatan. Indonesia
menghabiskan hanya 1,2 persen dari PDB untuk pelayanan kesehatan; salah satu
alokasi kesehatan terendah bila dibandingkan negara-negara lain di dunia.
"Pembelanjaan
yang lebih baik, termasuk untuk pelayanan kesehatan dan program-program
perlindungan sosial, dapat mempercepat upaya pengentasan kemiskinan yang telah
melambat beberapa tahun terakhir. Tanpa dukungan tambahan ini terhadap upaya
pengentasan kemiskinan, tingkat kemiskinan di Indonesia - yang kini 11,3 persen
- akan tetap berada di atas 8 persen pada 2018 sekalipun," kata (Ndiame
Diop, Ekonom Utama Bank Dunia untuk Indonesia.)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar